Bocah Merah Putih

Nahkoda yang akan membawa kapal besar beserta awaknya yang bernama NUSANTARA.”


http://www.inset.or.id/

          Detak berubah menjadi detik, ya memang semua yang berlalu tak akan pernah kembali meski kita memohon dan mengemis meminta waktu untuk kembali mengulang apa yang telah terjadi dimasa masa indah berharap semua itu tak pernah berakhir.


Hawa dingin subuh mulai menusuk tulang dan sendi-sendiku seolah memerintahkan diri untuk tetap diam dan bergulung dalam hangatnya selimut dan kenyamanan kasur yang menelan badan kelelahan ini, itu semua godaan dari hawa nafsu yang melarang diriku untuk mengawali hari dan melakukan sholat subuh.

‘’berat sekali rasanya badan ini.. males sholat ihh” kata kata itu keluar begitu saja dari dalam mulutku.

“man..BANGUN... sekolah sanah.. mau disebor lagi kamu.. bosen ngebangunin kamu terus, pusing nih emak..” ya, itu adalah kekuatan yang paling menyeramkan, kekuatan yang disebut the power of emak emak.

“iya mak bentar lagi..” perlahan tapi pasti ku tinggalkan kasur dan segala kenyamanan yang ada didalamnya, lalu menghampiri kain sarung dan langsung pergi kemesjid  untuk melaksanakan sholat subuh.

Ketika matahari menyongsong langit dengan cahaya yang terang disitulah kuawali hari dengan mendengar  teriakan ayam-ayam tetangga yang seolah olah memerintahkan kita untuk pergi beraktifitas.
       
SUDIRMAN.... jangan tidur di kamar mandi, kebiasaan kamu itu jelek tau..” kembali kudengar  teriakan paling mengerikan dari kekuatan yang paling melegenda yang pernah ada.

          “iya mak.. bentar lagi..” akhirnya kupercepat aktifitasku di kamar mandi dan lekas-lekas memakai baju untuk segera berangkat pergi kesekolah..

          Seperti biasa sebelum berangkat menuju sekolah aku berdoa dan melakukan aktifitas yang menurut orang lain aneh dan sedikit gila, ya aktifitas itu adalah berdiam sejenak didepan tiang bendera dihalaman rumahku sambil memeluk sehelai benderah merah putih yang sudah lusuh, lalu secara perlahan kubentangkan bendera itu, lalu kunaikan sampai ujung tiang tertinggi didepan rumahku. Semakin membentang bendera merah yang tak lagi merah dan putih yang tak lagi putih, menyongsong indahnya langit pagi di bumi Nusantara, seolah berteriak dengan gagah berani memompa semangatku untuk berangkat menuju tempat yang menurutku tempat yang paling indah. Sekolah.

          Tak lupa kusandang tas lusuhku yang robek dan compang-camping disana-sini, dan yang paling menyorot penampilanku adalah sebuah pin garuda berkarat yang tersemat dikerah bajuku yang menjadi bahan ejekan teman-teman sekolahku.     

          Perlahan tapi pasti langkah itu mulai terdengar di lorong koridor kelasku, padahal bel sekolah pun belum berteriak memerintahkan siswa-siswi memasuki ruangan pembantaian bernama kelas. Ya, beliau adalah Pak Yahya guru Matematika yang sangat disiplin, pernah suatu hari beliau masuk kelas satu jam sebelum kelas dimulai . Benar-benar guru teladan.

Akhirnya tibalah pak Yahya mengeluarkan senjata pamungkasnya berupa daftar kehadiran dan pulpen merah darah. Lalu mulai menanyai  satu persatu murid tentang tugas kemarin, dan semua teman-temanku sudah mengerjakanya.

“Sudirman... sudah PRnya?” tepat ketika namaku dipanggil, dan Pak Yahya menghampiri mejaku.

“sudah pak... inih pak” dan ternyata baru kusadari ternyata diriku salah membawa buku, ahh hari yang sial

“mana.. ini kertasnya masih kosong? Jangan main main kamu sama saya, berdiri didepan kelas sampai jam matematika berakhir”

Satu jam pelajaran ku habiskan berdiri didepan kelas, sambil terkantuk-kantuk mendengarkan ceramah dari Pak Yahya dan teman-temanku hanya tertawa dan melempariku dengan kertas tanpa sepengetahuan Pak Yahya. Akhirnya berakhir sudah pembantaian yang diberikan oleh Pak Yahya padaku. Kini pelajaran telah berganti dengan pembantaian ronde dua, ya itu adalah pelajaran fisika. Untungnya pelajaran fisika aku melahap semua pelajaran dari mejaku sambil terkantuk-kantuk mendengarkan guru menjelaskan.

Bel istirahat pun berteriak dengan sangat lantang, seolah tau betapa menderitanya kami dengan siksaan kantuk dikelas dan menyuruh guru-guru menghentikan siksaanya itu.

“ahh akhirnya istirahat juga” gumamku dalam hati.

Entah dari mana datangnya sebuah pukulan keras tepat dikepalaku yang membuat pening kepalaku dan mengaburkan pandanganku, ternyata itu semua ulah Danu teman sekelasku yang nakalnya gak ketulungan.

“lapor Jendral... nampaknya anda belum menyelesaikan tugas yah.. sombong kali kau memakai pin garuda murahanmu itu, DASAR KAU CUCU VETERAN PECUNDANG”.kata-kata Danu menghujam jantungku yang diiringi dengan tawa yang terbahak-bahak teman satu kelas.

 “apa-apaan kau Sersan Danu, pangkat baru Sersan sudah berani memukul kepala Jendral” ledek ku dengan nada yang sangat menyindir dan ditambah dengan tawa terbahak-bahak semua teman satu kelas

“sombong betul kau Sudirman, sudahlah bercandanya, berantem aja yu” kata- kata Danu membuat satu kelas terdiam.

“waduh pangkat Sersan berani menantang Jendral? Yaudah ayo..” jawabku dengan nada yang meremehkan dan keras.

Seketika tangan Danu sudah menempel dimuka ku dan membuat bibir atasku bercucuran darah, tak mau kalah kuhantam muka Danu sekuat tenaga dengan kakiku yang membuatnya terpental jauh dan menangis meraung-raung. Tepat setelah Danu kutendang tiba pak Ridwan bagian Wakasek kesiswaan yang melihat kejadian itu.

“ulah siapa ini” kata pak Ridwan denga tegas menggemparkan seiisi ruangan.

Dan semua teman kelasku menunjuk bahwa dalang dari semua ini adalah aku.

“sudirman ikut saya kekantor” itu adalah kata-kata terakhir pak Ridwan sambil meninggalkan ruangan kelasku.

Sesampainya ku dikantor, semua menatap sinis kepadaku seolah ingin mencabikku menjadi daging panggang. Mulailah diriku diintrogasi satu persatu oleh guru yang ada di kantor. Mulai dari Wakasek, guru BK, dan guru mata pelajaran yang lain. Yang membuat hatiku tegang adalah orang tua Danu yang merupakan guru juga disekolahku.

“kalau mau jadi preman jangan sekolah disini” ayah Danu berteriak kencang ditelingaku.

“apahkah bapak baik-baik saja, saya tidak tuli pak. Tidak usah peke teriak-teriak” balasku kesal karena diteriaki dan kata-kataku ini seperti pedang yang siap diarahkan pada siapa saja.

“ngelawan kamu sama guru. Udah mau jadi preman yah? Yaudah sini brentem sama saya” ayahnya danu kini mulai naik pitam dengan jawaban ku tadi

“tidak pak saya tidak ingin melawan bapak, bapak adalah orang yang saya hormati. Tapi pak anda sekarang berdiri bukan menjadi seorang guru, tapi anda berdiri sebagai seorang ayah, ayah yang anaknya menangis dikarenakan ulah nakalnya sendiri” jawabku dengan sedikir gemetar.

Seketika suasana ruangan menjadi tegang dan semua guru yang ada memegang dengan kuat ayahnya Danu yang sedang naik pitam.

“anak ini kalo dibiarkan gini terus lama-lama akan jadi preman disekolah kita, Pak kita harus panggil orang tuannya untuk memberi surat pemberhentian untuk sekolah disini” ucap ayahnya Danu.

Seketika terbayang wajah orang tua ku yang sedang mencari nafkah untuk anaknya yang selalu membuat masalah ini, apa sebesar itu salaku sampai-sampai ayahnya Danu teganya untuk tidak memberikan surat peringatan seperti siswa yang lain bermasalah.

“Tenang Pak Salim, semuanya masalah tidak bisa diselesaikan dengan tergesa-gesa” ucap Pak Ridwan menengangkan suasana.

“yahsudah... jika Pak Ridwan tidak sanggup lebih baik saya yang urus biar langsung berhubungan dengan Ibu Kepala Sekolah” tak mau kalah ayahnya Danu menjawab Pak Ridwan.

          Makin terbayang betapa besarnya perjuangan ibuku menunggu pembeli untuk membeli daganganya, dan perjuangan ayahku yang bekerja keras mengangkat besi untuk dijual hingga bercucuran keringat seperti hampir berkeringat darah, hanya untuk mensekolahkanku. Ya Tuhan bantu aku apa yang harus ku lakukan jika memang benar aku harus berhenti sekolah, sedangkan harapan besar mereka tepat berada dibahuku.

          Entah kenapa mataku mulai kabur dan kakiku mulai lemas seperti tak ada tulang untuk menjadi tonggakku untuk berdiri. Perlahan tubuhku mulai mendekati lantai ruang guru dan mulai terhenyak mendengarkan apa yang guru-guru perdebatkan.

          “Pak Salim... disini tugas saya yang mengatur siswa yang bermasalah, anda tidak usah ikut campur dalam urusan ini, lebih baik urus anak anda yang bertingkah itu” Pak ridwan kini mulai marah melihat kelakuan Pak Salim.

          “lah pak yang ko anak saya sih... anak saya itu baik yah pak ga pernah berkelakuan kaya preman ini” jawabnya Pak Salim sambil menunjuk mukaku.

          “kalo bukan preman apa namanya ini” jawa Pak Ridwan sambil memperlihatkan foto-foto Danu sedang merokok dan memukuli siswa yang lain

          “jadi yang preman itu siapa pak? Anak bapa atau Sudirman yang membela diri? Saya sendiri melihat kejadian itu dan anda bisa menebak bukan siapa yang preman?” kembali Pak Ridwan membelaku.

          “tidak mungkin Danu anak saya seperti ini...” jawab Pak Salim.

          “jadi siapa yang patut untuk diberi surat pemberhentian dari sekolah? Katanya anak anda baik ternyata hanya jagoan yang bersembunyi dalam ketiak bapaknya” jawab Pak Ridwan

          Suasana ruangan medadak hening dan entah apa yang membuatku berbicara tak karuan tapi semua mata menatap pada diriku.

“disini saya hanya ingin keadilan dari bapak ibu guru yang ada, bapak bisa melihatkan anak bapak hanya menagis, sedangkan saya, bibir atas saya robek karena pukulan anak bapak, dan bapak masih bisa menyalahkan saya. Apa semua ini wajar pak?” 

Entah kenapa perlahan muka ku terasa hangat karena dibasahi air mataku.

“mengapa kau menangis nak” ucap pak Ridwan sambil menenangkanku.

“saya menangis karena ini pak, ini adalah pin garuda peninggalan kakek saya seorang Veteran yang bertempur bersama-sama dengan Jendral Sudirman, dan pin garuda ini sangat berarti bagi saya. Saya tidak masalah jika saya dihina, tapi saya sangat marah jika yang dihina adalah kakek saya dan pin pemberianya ini”  jawabku tersedu-sedu.

Akhirnya berakhir sudah penderitaanku di dalam kantor dengan akhir yang mencengankan karena semua guru sepakat mengatakan aku tidaklah bersalah. Ku susuri dengan langkah lemas jalan menuju kelasku. Sesampainya aku dikelas semua orang menatap aneh kepadaku, dan yang membuatku terkejut adalah ketua kelasku berdiri lalu memberi hormat seperti prajurit yang menghormati Jendralnya diikuti dengan semua temanku yang ada dikelas.

“kami gak nyangka Man... ternyata pin garuda berkaratmu itu warisan dari kakekmu yang didapat langsung dari Panglima Besar Sudirman” ujar Rini salah satu teman kelasku.

“wihh barang antik tuh.. boleh megang gak Man?” celoteh jahil temanku.

“boleh-boleh nihh... tapi awas rusak yah” jawabku sambil bercanda.

Usai sudah hari yang terasa berat dan panjang disekolahku. Memang aku ini menurut orang lain sedikit aneh, itu karena setiap ada bendera merah putih berkibar aku berdiam diri sejenak sambil berdoa, yah mendoakan kakekku. Jadi semua teman disekolahku memanggilku Sudiman sibocah MERAH PUTIH. Terdengar aneh tapi aku sangat menyukai nama itu.

Setelah kejadian aneh hari itu semua orang menjadi berubah kearah yang lebih baik, dan masa sekolahku perlahan mulai berwarna meskipun diakhir masa sekolah. Semakin kubayangkan betapa banyaknya kenangan yang akan kami tinggalkan semakin sesak dada ku dan membuat mataku belinang air mata seolah tidak rela semua yang ini berakhir begitu saja. Sudah kuduga ternyata aku jatuh cinta, aku jatuh cinta pada sekolahku, aku jatuh cinta pada temanku, dan aku jatuh cinta pada semua yang ada disekolahku.

***
Ternyata kenangan indah masa sekolah cepat sekali berlalu, kenangan dimana kita menangis karena cinta, sahabat dan karena tugas sekolah, tertawa bersama menghabiskan waktu, tidur dikelas saat jam pelajaran kosong dan melakukan hal-hal konyol lainya yang tak akan mungkin dilupakan. Tak terasa sudah tujuh tahun lalu aku tinggalkan sekolah bersama teman-teman yang lainnya sambil menikmati namanya kelulusan SMA. Dan hari ini adalah hari yang berarti bagiku karena akan bertemu mereka kembali setelah sekian lama.

Tepat diujung jalan yang ramai disebuah rumah makan, aku melihat teman-teman sudah berkumpul dan bercanda gurau, melihat mereka benar-benar membuat ku mengingat kembali betapa menyenangkannya masa SMA. Dan perlahan tapi pasti kuhampiri teman-temanku yang sudah berkumpul dimeja.

“kepada Jendral sudirman... Hormat gerak..” ucap Irfan ketua kelasku dulu.

“kemana aja nih.. pak Jendral jarang sekali kasih kabar?” ucap Rini menyambung kata-kata Irfan.

“apa-apaan sih kalian ini hahaha... buat malu saja... aku ini bukan Jendral kok, pangkatku masih Letnan.. masih lama kalo mau jadi Jendral...” jawabku sambil bercanda didepan mereka.

“ahh tetep aja kamu tuh calon Jendral kalo rajin kerjanya man...” jawab temanku yang lain.

“pin garuda ini masih kamu peke man?” tanya Rini.

“ini masih terpasang dengan gagah di kerah bajuku hehehe mana mungkin benda berharga ini kuhilangkan, benda ini kan kujaga dan akan kuwariskan pada generasi selanjutnya nanti” jawabku dengan gagah dan diiringi tepuk tangan teman-teman yang lain.

Yah pertemuan ini memang sangat berharga, karena setelah lulus aku langsung mendaftarkan diri menjadi calon Perwira tentara di AKMIL Magelang dan ingin sekali melanjutkan impian kakek yang ingin melihat anak cucunya bisa melanjutka perjuangannya. jadi tidak bisa tiap tahun datang untuk reuni bersama teman-teman yang lain.


Kami habiskan waktu reuni dengan menceritakan kembali kenangan masa-masa SMA dan menceritakan kisah-kisah masing-masing dari kami sesudah tamat dari bangku SMA.

Senja pun datang seolah menjemput mentari yang gagah menyinari langit pertiwi yang indah. Perlahan kulihat dan kurasakan dengan khidmat betapa indahnya Negeri ini dengan sejuta cerita didalamnya. Menghantarkan ku pada sesuatu yang sangat ku cintai yaitu Negeri ini dan segala yang ada didalamnya. Dan ini semua berawal dari pin garuda kakek yang melekat dengan gagah dikerah bajuku dan nama Sudirman yang diberikan padaku. 

“Hanya ini yang ku punya, segenggam cinta sejuta rasa, kita punya cinta, ini cinta kita, sejuta cintaku untuk INDONESIA”  Pesanku untuk negeriku.


Negeri ini bukanlah negeri yang lemah, maka bangkitlah wahai pemuda. Song-songlah kejayaan yang selalu mereka impikan, mereka yang gugur demi bangsa ini demi kalian para pemuda  yang akan mewarisi tonggak kepemimpinan masa sebelumnya. Maka berdiri dengan gagahlah menerjang semua rintangan wahai nahkoda. Nahkoda yang akan membawa kapal besar beserta awaknya yang bernama NUSANTARA. 



KARYA

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »