Detak berubah menjadi detik, ya memang semua yang berlalu tak akan pernah kembali meski kita memohon dan mengemis meminta waktu untuk kembali mengulang apa yang telah terjadi dimasa masa indah berharap semua itu tak pernah berakhir.
Hawa dingin subuh mulai menusuk
tulang dan sendi-sendiku seolah memerintahkan diri untuk tetap diam dan
bergulung dalam hangatnya selimut dan kenyamanan kasur yang menelan badan
kelelahan ini, itu semua godaan dari hawa nafsu yang melarang diriku untuk
mengawali hari dan melakukan sholat subuh.
‘’berat sekali rasanya badan
ini.. males sholat ihh” kata kata itu keluar begitu saja dari dalam mulutku.
“man..BANGUN... sekolah sanah..
mau disebor lagi kamu.. bosen ngebangunin kamu terus, pusing nih emak..” ya,
itu adalah kekuatan yang paling menyeramkan, kekuatan yang disebut the power of emak emak.
“iya mak bentar lagi..”
perlahan tapi pasti ku tinggalkan kasur dan segala kenyamanan yang ada
didalamnya, lalu menghampiri kain sarung dan langsung pergi kemesjid untuk melaksanakan sholat subuh.
Ketika matahari menyongsong
langit dengan cahaya yang terang disitulah kuawali hari dengan mendengar teriakan ayam-ayam tetangga yang seolah olah
memerintahkan kita untuk pergi beraktifitas.
SUDIRMAN....
jangan tidur di kamar mandi, kebiasaan kamu itu jelek tau..” kembali
kudengar teriakan paling mengerikan dari
kekuatan yang paling melegenda yang pernah ada.
“iya
mak.. bentar lagi..” akhirnya kupercepat aktifitasku di kamar mandi dan
lekas-lekas memakai baju untuk segera berangkat pergi kesekolah..
Seperti
biasa sebelum berangkat menuju sekolah aku berdoa dan melakukan aktifitas yang
menurut orang lain aneh dan sedikit gila, ya aktifitas itu adalah berdiam
sejenak didepan tiang bendera dihalaman rumahku sambil memeluk sehelai benderah
merah putih yang sudah lusuh, lalu secara perlahan kubentangkan bendera itu,
lalu kunaikan sampai ujung tiang tertinggi didepan rumahku. Semakin membentang
bendera merah yang tak lagi merah dan putih yang tak lagi putih, menyongsong
indahnya langit pagi di bumi Nusantara, seolah berteriak dengan gagah berani
memompa semangatku untuk berangkat menuju tempat yang menurutku tempat yang
paling indah. Sekolah.
Tak
lupa kusandang tas lusuhku yang robek dan compang-camping disana-sini, dan yang
paling menyorot penampilanku adalah sebuah pin garuda berkarat yang tersemat
dikerah bajuku yang menjadi bahan ejekan teman-teman sekolahku.
Perlahan
tapi pasti langkah itu mulai terdengar di lorong koridor kelasku, padahal bel
sekolah pun belum berteriak memerintahkan siswa-siswi memasuki ruangan
pembantaian bernama kelas. Ya, beliau adalah Pak Yahya guru Matematika yang
sangat disiplin, pernah suatu hari beliau masuk kelas satu jam sebelum kelas
dimulai . Benar-benar guru teladan.
Akhirnya tibalah pak Yahya
mengeluarkan senjata pamungkasnya berupa daftar kehadiran dan pulpen merah
darah. Lalu mulai menanyai satu persatu
murid tentang tugas kemarin, dan semua teman-temanku sudah mengerjakanya.
“Sudirman... sudah PRnya?”
tepat ketika namaku dipanggil, dan Pak Yahya menghampiri mejaku.
“sudah pak... inih pak” dan
ternyata baru kusadari ternyata diriku salah membawa buku, ahh hari yang sial
“mana.. ini kertasnya masih
kosong? Jangan main main kamu sama saya, berdiri didepan kelas sampai jam
matematika berakhir”
Satu jam pelajaran ku habiskan
berdiri didepan kelas, sambil terkantuk-kantuk mendengarkan ceramah dari Pak
Yahya dan teman-temanku hanya tertawa dan melempariku dengan kertas tanpa
sepengetahuan Pak Yahya. Akhirnya berakhir sudah pembantaian yang diberikan
oleh Pak Yahya padaku. Kini pelajaran telah berganti dengan pembantaian ronde
dua, ya itu adalah pelajaran fisika. Untungnya pelajaran fisika aku melahap
semua pelajaran dari mejaku sambil terkantuk-kantuk mendengarkan guru
menjelaskan.
Bel istirahat pun berteriak
dengan sangat lantang, seolah tau betapa menderitanya kami dengan siksaan
kantuk dikelas dan menyuruh guru-guru menghentikan siksaanya itu.
“ahh akhirnya istirahat juga”
gumamku dalam hati.
Entah dari mana datangnya
sebuah pukulan keras tepat dikepalaku yang membuat pening kepalaku dan
mengaburkan pandanganku, ternyata itu semua ulah Danu teman sekelasku yang nakalnya
gak ketulungan.
“lapor Jendral... nampaknya
anda belum menyelesaikan tugas yah.. sombong kali kau memakai pin garuda
murahanmu itu, DASAR KAU CUCU VETERAN PECUNDANG”.kata-kata Danu menghujam
jantungku yang diiringi dengan tawa yang terbahak-bahak teman satu kelas.
“apa-apaan kau Sersan Danu, pangkat baru
Sersan sudah berani memukul kepala Jendral” ledek ku dengan nada yang sangat
menyindir dan ditambah dengan tawa terbahak-bahak semua teman satu kelas
“sombong betul kau Sudirman,
sudahlah bercandanya, berantem aja yu” kata- kata Danu membuat satu kelas
terdiam.
“waduh pangkat Sersan berani
menantang Jendral? Yaudah ayo..” jawabku dengan nada yang meremehkan dan keras.
Seketika tangan Danu sudah
menempel dimuka ku dan membuat bibir atasku bercucuran darah, tak mau kalah
kuhantam muka Danu sekuat tenaga dengan kakiku yang membuatnya terpental jauh
dan menangis meraung-raung. Tepat setelah Danu kutendang tiba pak Ridwan bagian
Wakasek kesiswaan yang melihat kejadian itu.
“ulah siapa ini” kata pak Ridwan
denga tegas menggemparkan seiisi ruangan.
Dan semua teman kelasku
menunjuk bahwa dalang dari semua ini adalah aku.
“sudirman ikut saya kekantor”
itu adalah kata-kata terakhir pak Ridwan sambil meninggalkan ruangan kelasku.
Sesampainya ku dikantor, semua menatap
sinis kepadaku seolah ingin mencabikku menjadi daging panggang. Mulailah diriku
diintrogasi satu persatu oleh guru yang ada di kantor. Mulai dari Wakasek, guru
BK, dan guru mata pelajaran yang lain. Yang membuat hatiku tegang adalah orang
tua Danu yang merupakan guru juga disekolahku.
“kalau mau jadi preman jangan
sekolah disini” ayah Danu berteriak kencang ditelingaku.
“apahkah bapak baik-baik saja,
saya tidak tuli pak. Tidak usah peke teriak-teriak” balasku kesal karena
diteriaki dan kata-kataku ini seperti pedang yang siap diarahkan pada siapa
saja.
“ngelawan kamu sama guru. Udah
mau jadi preman yah? Yaudah sini brentem sama saya” ayahnya danu kini mulai
naik pitam dengan jawaban ku tadi
“tidak pak saya tidak ingin
melawan bapak, bapak adalah orang yang saya hormati. Tapi pak anda sekarang
berdiri bukan menjadi seorang guru, tapi anda berdiri sebagai seorang ayah,
ayah yang anaknya menangis dikarenakan ulah nakalnya sendiri” jawabku dengan
sedikir gemetar.
Seketika suasana ruangan
menjadi tegang dan semua guru yang ada memegang dengan kuat ayahnya Danu yang
sedang naik pitam.
“anak ini kalo dibiarkan gini
terus lama-lama akan jadi preman disekolah kita, Pak kita harus panggil orang
tuannya untuk memberi surat pemberhentian untuk sekolah disini” ucap ayahnya
Danu.
Seketika terbayang wajah orang
tua ku yang sedang mencari nafkah untuk anaknya yang selalu membuat masalah
ini, apa sebesar itu salaku sampai-sampai ayahnya Danu teganya untuk tidak
memberikan surat peringatan seperti siswa yang lain bermasalah.
“Tenang Pak Salim, semuanya
masalah tidak bisa diselesaikan dengan tergesa-gesa” ucap Pak Ridwan
menengangkan suasana.
“yahsudah... jika Pak Ridwan
tidak sanggup lebih baik saya yang urus biar langsung berhubungan dengan Ibu
Kepala Sekolah” tak mau kalah ayahnya Danu menjawab Pak Ridwan.
Makin
terbayang betapa besarnya perjuangan ibuku menunggu pembeli untuk membeli
daganganya, dan perjuangan ayahku yang bekerja keras mengangkat besi untuk
dijual hingga bercucuran keringat seperti hampir berkeringat darah, hanya untuk
mensekolahkanku. Ya Tuhan bantu aku apa yang harus ku lakukan jika memang benar
aku harus berhenti sekolah, sedangkan harapan besar mereka tepat berada
dibahuku.
Entah
kenapa mataku mulai kabur dan kakiku mulai lemas seperti tak ada tulang untuk
menjadi tonggakku untuk berdiri. Perlahan tubuhku mulai mendekati lantai ruang
guru dan mulai terhenyak mendengarkan apa yang guru-guru perdebatkan.
“Pak
Salim... disini tugas saya yang mengatur siswa yang bermasalah, anda tidak usah
ikut campur dalam urusan ini, lebih baik urus anak anda yang bertingkah itu”
Pak ridwan kini mulai marah melihat kelakuan Pak Salim.
“lah
pak yang ko anak saya sih... anak saya itu baik yah pak ga pernah berkelakuan
kaya preman ini” jawabnya Pak Salim sambil menunjuk mukaku.
“kalo bukan preman apa namanya ini”
jawa Pak Ridwan sambil memperlihatkan foto-foto Danu sedang merokok dan
memukuli siswa yang lain
“jadi
yang preman itu siapa pak? Anak bapa atau Sudirman yang membela diri? Saya
sendiri melihat kejadian itu dan anda bisa menebak bukan siapa yang preman?”
kembali Pak Ridwan membelaku.
“tidak
mungkin Danu anak saya seperti ini...” jawab Pak Salim.
“jadi
siapa yang patut untuk diberi surat pemberhentian dari sekolah? Katanya anak
anda baik ternyata hanya jagoan yang bersembunyi dalam ketiak bapaknya” jawab
Pak Ridwan
Suasana
ruangan medadak hening dan entah apa yang membuatku berbicara tak karuan tapi
semua mata menatap pada diriku.
“disini saya hanya ingin
keadilan dari bapak ibu guru yang ada, bapak bisa melihatkan anak bapak hanya
menagis, sedangkan saya, bibir atas saya robek karena pukulan anak bapak, dan
bapak masih bisa menyalahkan saya. Apa semua ini wajar pak?”
Entah kenapa perlahan muka ku
terasa hangat karena dibasahi air mataku.
“mengapa kau menangis nak” ucap
pak Ridwan sambil menenangkanku.
“saya menangis karena ini pak,
ini adalah pin garuda peninggalan kakek saya seorang Veteran yang bertempur
bersama-sama dengan Jendral Sudirman, dan pin garuda ini sangat berarti bagi
saya. Saya tidak masalah jika saya dihina, tapi saya sangat marah jika yang
dihina adalah kakek saya dan pin pemberianya ini” jawabku tersedu-sedu.
Akhirnya berakhir sudah
penderitaanku di dalam kantor dengan akhir yang mencengankan karena semua guru
sepakat mengatakan aku tidaklah bersalah. Ku susuri dengan langkah lemas jalan
menuju kelasku. Sesampainya aku dikelas semua orang menatap aneh kepadaku, dan
yang membuatku terkejut adalah ketua kelasku berdiri lalu memberi hormat
seperti prajurit yang menghormati Jendralnya diikuti dengan semua temanku yang
ada dikelas.
“kami gak nyangka Man...
ternyata pin garuda berkaratmu itu warisan dari kakekmu yang didapat langsung
dari Panglima Besar Sudirman” ujar Rini salah satu teman kelasku.
“wihh barang antik tuh.. boleh
megang gak Man?” celoteh jahil temanku.
“boleh-boleh nihh... tapi awas
rusak yah” jawabku sambil bercanda.
Usai sudah hari yang terasa
berat dan panjang disekolahku. Memang aku ini menurut orang lain sedikit aneh,
itu karena setiap ada bendera merah putih berkibar aku berdiam diri sejenak
sambil berdoa, yah mendoakan kakekku. Jadi semua teman disekolahku memanggilku
Sudiman sibocah MERAH PUTIH. Terdengar aneh tapi aku sangat menyukai nama itu.
Setelah kejadian aneh hari itu
semua orang menjadi berubah kearah yang lebih baik, dan masa sekolahku perlahan
mulai berwarna meskipun diakhir masa sekolah. Semakin kubayangkan betapa
banyaknya kenangan yang akan kami tinggalkan semakin sesak dada ku dan membuat
mataku belinang air mata seolah tidak rela semua yang ini berakhir begitu saja.
Sudah kuduga ternyata aku jatuh cinta, aku jatuh cinta pada sekolahku, aku
jatuh cinta pada temanku, dan aku jatuh cinta pada semua yang ada disekolahku.
***
Ternyata kenangan indah masa
sekolah cepat sekali berlalu, kenangan dimana kita menangis karena cinta,
sahabat dan karena tugas sekolah, tertawa bersama menghabiskan waktu, tidur
dikelas saat jam pelajaran kosong dan melakukan hal-hal konyol lainya yang tak
akan mungkin dilupakan. Tak terasa sudah tujuh tahun lalu aku tinggalkan
sekolah bersama teman-teman yang lainnya sambil menikmati namanya kelulusan
SMA. Dan hari ini adalah hari yang berarti bagiku karena akan bertemu mereka
kembali setelah sekian lama.
Tepat diujung jalan yang ramai
disebuah rumah makan, aku melihat teman-teman sudah berkumpul dan bercanda
gurau, melihat mereka benar-benar membuat ku mengingat kembali betapa
menyenangkannya masa SMA. Dan perlahan tapi pasti kuhampiri teman-temanku yang
sudah berkumpul dimeja.
“kepada Jendral sudirman...
Hormat gerak..” ucap Irfan ketua kelasku dulu.
“kemana aja nih.. pak Jendral
jarang sekali kasih kabar?” ucap Rini menyambung kata-kata Irfan.
“apa-apaan sih kalian ini
hahaha... buat malu saja... aku ini bukan Jendral kok, pangkatku masih Letnan..
masih lama kalo mau jadi Jendral...” jawabku sambil bercanda didepan mereka.
“ahh tetep aja kamu tuh calon
Jendral kalo rajin kerjanya man...” jawab temanku yang lain.
“pin garuda ini masih kamu peke
man?” tanya Rini.
“ini masih terpasang dengan
gagah di kerah bajuku hehehe mana mungkin benda berharga ini kuhilangkan, benda
ini kan kujaga dan akan kuwariskan pada generasi selanjutnya nanti” jawabku
dengan gagah dan diiringi tepuk tangan teman-teman yang lain.
Yah pertemuan ini memang sangat
berharga, karena setelah lulus aku langsung mendaftarkan diri menjadi calon
Perwira tentara di AKMIL Magelang dan ingin sekali melanjutkan impian kakek
yang ingin melihat anak cucunya bisa melanjutka perjuangannya. jadi tidak bisa
tiap tahun datang untuk reuni bersama teman-teman yang lain.
Kami habiskan waktu reuni
dengan menceritakan kembali kenangan masa-masa SMA dan menceritakan kisah-kisah
masing-masing dari kami sesudah tamat dari bangku SMA.
Senja pun datang seolah
menjemput mentari yang gagah menyinari langit pertiwi yang indah. Perlahan
kulihat dan kurasakan dengan khidmat betapa indahnya Negeri ini dengan sejuta
cerita didalamnya. Menghantarkan ku pada sesuatu yang sangat ku cintai yaitu
Negeri ini dan segala yang ada didalamnya. Dan ini semua berawal dari pin
garuda kakek yang melekat dengan gagah dikerah bajuku dan nama Sudirman yang
diberikan padaku.
“Hanya ini yang ku punya,
segenggam cinta sejuta rasa, kita punya cinta, ini cinta kita, sejuta cintaku
untuk INDONESIA” Pesanku untuk negeriku.
Negeri ini bukanlah negeri yang
lemah, maka bangkitlah wahai pemuda. Song-songlah kejayaan yang selalu mereka
impikan, mereka yang gugur demi bangsa ini demi kalian para pemuda yang akan mewarisi tonggak kepemimpinan masa
sebelumnya. Maka berdiri dengan gagahlah menerjang semua rintangan wahai
nahkoda. Nahkoda yang akan membawa kapal besar beserta awaknya yang bernama
NUSANTARA.
KARYA